Masuk ke Bengkulu Tabut

Tidak ada catatan tertulis sejak bila upacara Tabut mula dikenali di Bengkulu. Namun, diduga kuat tradisi yang berangkat dari upacara berkabung para penganut fahaman Syiah ini dibawa oleh para tukang yang membangun Benteng Marlborought (1718-1719) di Bengkulu. Para tukang bangunan tersebut, didatangkan oleh Inggeris dari Madras dan Benggala di bahagian selatan India yang kebetulan merupakan penganut Islam Syiah.

Para pekerja yang merasa serupa dan secocok dengan tatahidup masyarakat Bengkulu, dipimpin oleh Imam Senggolo atau Syeikh Burhanuddin, memutuskan tinggal dan mendirikan pemukiman baru yang disebut Berkas, sekarang dikenali dengan nama Kelurahan Tengah Padang. Tradisi yang dibawa dari Madras dan Bengali diwariskan kepada keturunan mereka yang telah berasimilasi dengan masyarakat Bengkulu asli dan menghasilkan keturunan yang dikenali dengan sebutan orang-orang Sipai.

Tradisi berkabung yang dibawa dari negara asalnya tersebut mengalami asimilasi dan akulturasi dengan budaya setempat, dan kemudian diwariskan dan dilembagakan menjadi apa yang kemudian dikenali dengan sebutan upacara Tabut. Upacara Tabut ini semakin meluas dari Bengkulu ke Painan, Padang, Pariaman, Maninjau, Pidie, Banda Aceh, Meuleboh dan Singkil. Namun dalam perkembangannya, kegiatan Tabut telah banyak menghilang di banyak tempat. Hingga pada akhirnya hanya terdapat di dua tempat, iaitu di Bengkulu dengan nama Tabut dan di Pariaman Sumbar (masuk sekitar tahun 1831) dengan sebutan Tabuik. Keduanya sama, namun cara pelaksanaannya agak berbeda.

Pada awalnya upacara Tabut (Tabuik) digunakan oleh orang-orang Syiah untuk mengenang kematian Saidina Husein bin Ali bin Abi Thalib, namun sejak orang-orang Sipai bebas dari pengaruh fahaman Syiah Muslim dan ramai dari mereka berpindah kepada fahaman Sunni Muslim , upacara ini dilakukan hanyalah sebagai suatu kewajipan keluarga, yakni bagi memenuhi wasiat leluhur keturunan mereka. Kebelakangan ini, sejak sedekat terakhir, selain melaksanakan wasiat leluhur, upacara ini juga turut mengundang penyertaan dari masyarakat Sipai dalam pembinaan dan pengembangan budaya daerah Bengkulu setempat.

Kondisi sosial budaya masyarakat, nampaknya juga menjadi penyebab munculnya perbezaan dalam tatacara pelaksanaan upacara Tabut. Di Bengkulu misalnya, Tabut 17 menunjukkan kepada jumlah keluarga awal yang melaksanakan Tabut, sedangkan di Pariaman hanya terdiri dari 2 jenis Tabut (Tabuik) iaitu Tabuik Subarang dan Tabuik Pasa. Tempat pembuangan Tabut (Tabuik) antara Bengkulu dan Pariaman juga berbeza. Pada awalnya Tabut di Bengkulu di buang ke laut sebagaimana di Pariaman Sumatera Barat. Namun, pada perkembangannya, Tabut di Bengkulu dibuang di rawa-rawa yang berada di sekitar pemakaman umum yang dikenali dengan nama makam Karbela yang diyakini sebagai tempat dimakamnya Imam Senggolo atau Syeikh Burhanuddin.

Kebelakangan ini juga, banyak kritikan dari berbagai elemen masyarakat terhadap pelaksanaan upacara Tabut. Satu hal yang paling mendasar dari semua kritikan tersebut adalah berubahnya fungsi upacara Tabut dari ritual bernuansa keagamaan menjadi sekadar festival kebudayaan belaka. Ini nampaknya disebabkan oleh kenyataan bahawa yang melaksanakan upacara Tabut adalah orang-orang bukan Syiah. Hilangnya nilai-nilai sakraliti upacara Tabut semakin diperparahkan dengan munculnya Tabut pembangunan (Upacara Tabut yang dimodenkan).